Postingan pertama gue di blog ini tentang film yang baru gue tonton 48jam yang lalu. Film asal Thailand ini bikin emosi gue naik turun. Selain karena bintang-bintangnya yang kece-kece, kayak Jirayu Laongmanee dan Nickhun Horvejkul atau Nickhun 2PM, cerita yang ditampilkan juga beraneka ragam.
Plot
“Seven Something”, dengan 3 kisah tentang cintanya, seperti mewakili kisah-kisah yang mungkin pernah dirasakan penontonnya, kisah klise tapi yah bukannya sebuah cerita cinta memang kebanyakan begitu-begitu saja, tinggal bagaimana si filmmaker meraciknya menjadi tak membosankan dan membuat penonton merasa terikat oleh filmnya, yah sampai akhirnya di pertengahan film ada yang bilang: “cerita film ini gue banget”. Disutradarai oleh tiga sutradara yang berbeda, “Seven Something”, yang diproduksi oleh PH terkenal, GTH sekali lagi mampu membungkus filmnya dengan ciri khas film cinta Thailand, unyu-unyuan tersebut bisa kembali dirasakan di ketiga ceritanya. Ada 3 kisah tentang 3 pasangan yang berbeda. Masing-masing cerita dibedakan berdasarkan klasifikasi umurnya yang semua berkelipatan tujuh. Oke, gue akan ulas dari cerita paling awal.14
Well, film pertama yang berjudul “14” tampaknya ingin meledek generasi menunduk (pinjem istilah dari “Republik Twitter”), mereka yang tunduk pada keeksisan dan memuja kepopuleran, “penyakit” yang mewabah diantara ABG, nggak hanya di Indonesia, Thailand juga gak ada bedanya. Bagi Puan (Jirayu La-ongmanee) populer di dunia maya dengan bantuan sosial media begitu sangat penting, seorang cowok geek yang bisa dibilang gak punya status terkenal di sekolah. Tapi beruntung dia punya kamera dan sangat beruntung (lagi) punya kekasih yang cantik, Milk (Suthatta Udomsilp). Dari hanya semangkuk es krim sampai kegiatan bermesraan pada saat hari valentine, semua diabadikan dengan foto dan video, kemudian diupload ke internet. Apapun yang ia lakukan bersama Milk, semua orang harus tahu. Milk pun mulai terganggu dengan ulah Puan, apalagi ketika video youtubenya yang dianggap Milk tidak pantas dilihat banyak orang, ternyata sudah dilirik puluhan ribu orang, hubungan mereka pun terancam “terhapus”.
Dari ketiga kisah di “Seven Something”, segmen “14” yang disutradarai oleh Paween Parijtipanya ini bisa dibilang yang paling “rame”, karena memang ingin mewakili kehidupan remaja yang berwarna-warni dengan segala kelabilannya. Paween tahu bagaimana menghidupkan cerita antara Puan dan Milk untuk terlihat real sebagai kisah cinta ABG, nggak ada yang dilebih-lebihkan, memang seperti inilah kisah kasih disekolah, kadang kekanak-kanakan, wajar. Pemilihan karakternya pun tepat walau pada akhirnya gue nggak merasakan ikatan sama sekali pada hubungan mereka, ya kecuali yang nggak bisa lupa dengan kelucuan Suthatta Udomsilp dan annoyingnya Jirayu yang berperan sebagai Puan, yang gak pernah lepas dari kameranya. “14” pun makin unyu ketika dibungkus dengan visual cantik, menambah nilai plus buat film yang juga ramai dengan efek-efek suara yang konyol, makin terasa unsur komedinya dan masih terasa wajar, walau terkadang memang agak berlebihan.
Jirayu as Puan and Suthatta as Milk |
21/28
Dari “14” yang ababil, kita bakal diajak move on ke segmen “21/28” yang tampaknya akan mewakili kisah cinta orang yang lebih dewasa. Berbeda dengan apa yang dilakukan Paween, pendekatan Adisorn Tresirikasem gak lagi memakai pernak-pernik ABG, konfliknya pun lebih serius daripada sekedar video youtube. Jon (Sunny Suwanmethanont) dan Mam (Cris Horwang) dipertemukan di sebuah film berjudul “Sea You”, cinlok dan hubungan mereka berlanjut ke kehidupan nyata. Tapi emang happy ending itu hanya ada di film, hubungan mereka kandas, begitu juga karir mereka di dunia akting, ikutan “jatuh”. 7 tahun berlalu, tiba-tiba Mam datang menemui Jon yang sekarang sudah banting setir menjadi penyelam di wahana Sea World. Tujuan awal Mam cuma satu, untuk mengajak Jon kembali ke dunia akting, bermain lagi di sekuel film yang dulu menyatukan mereka. Mam yang pengen banget jadi “aktris terkenal” lagi harus kecewa ketika Jon menolak, tapi ia tak menyerah, dan takdir pun sudah menyiapkan rencana untuk mereka berdua.
Jika segmen awal masih terlihat ceria dengan warna-warni cinta di sekolah, “21/28” ini bisa dibilang kelam dan “dalam”, berlumur kisah pedih yang menutupi masa lalu Jon dan Mam. Agar lebih menarik, Adisorn pun mencoba bermain-main dengan alur, yang ia buat maju mundur, beberapa bagian sempat membuat bingung tapi begitu cerita bergulir dari menit ke menitnya, tanpa sadar gue udah “asyik” mendengarkan Adisorn bercerita. Yah di segmen kedua ini “Seven Something”, nggak lagi mengajak kita “bermain” seperti segmen sebelumnya. “21/28” jelas dibuat agar penonton ikut terpancing dalam konflik Jon dan Mam, lihat saja bagaimana Adisorn begitu jeli memasukkan berbagai kisah melodrama haru biru, berusaha menggelitik sisi sensitif penonton. Sayang usaha Adisorn terlampau berlebihan untuk membuat penontonnya ikut terbawa emosi, banyak adegan galau yang dipanjang-panjangkan malah justru membosankan. gue akuni, “21/28” cukup jleb apalagi dengan iringan musiknya yang ditempatkan di bagian yang tepat untuk mengajak hati penonton ikut meronta-ronta, menyaksikkan perjalanan cinta Jon dan Mam di masa lalu, dan kemudian menunggu akan dibawa kemana mereka oleh takdir.
Sunny as Jon and Chris as Mam |
42.195
Terakhir, dengan judulnya yang unik, “42.195”, bagi gue ini adalah segmen paling menarik dari ketiga segmen di “Seven Something”. Melibatkan percintaan antara dua orang yang terlampau jauh dari segi usia dan lari maraton, yang di film ini posisi maraton bukan sekedar penambah “seru” cerita, tapi punya nilai filosofis tersendiri. Sejauh apa kamu sanggup “berlari” demi cinta. Perjuangan move on karakter yang dimainkan Suquan Bulakul yang diceritakan baru saja menjadi janda, karena suaminya meninggal karena kecelakaan pesawat, nantinya akan digambarkan oleh Jira Malikul dengan berbagai adegan latihan lari. Setelah ia bertemu pria yang jauh lebih muda darinya (diperankan oleh Nichkhun Horvejkul), Suquan memutuskan untuk ikut maraton, dengan maksud untuk move on dan mendapatkan kehidupan yang baru.
Berbeda dengan segmen kedua yang terkadang begitu memaksa-membosankan dalam urusan memompa emosi, kali ini Jira cukup bisa menjaga ritme cerita, untuk tidak terlalu berlama-lama dalam satu adegan tertentu. Alhasil gue cukup nyaman mengikuti ceritanya yang gak terlalu menggalau layaknya segmen kedua. Agar tidak cepat bosan, Jira pun jeli untuk menambahkan berbagai humor unyu, terselip diantara momen-momen yang bisa dibilang janggal, ketika kedua orang ini udah gak lagi bisa bohong kalau mereka lagi sama-sama jatuh cinta. Satu-satunya yang mengganggu dari segmen ini hanyalah suara narasi seorang perempuan yang sialnya selalu mengikuti kemana cerita pergi.
Nichkhun and Suquan |
0 Comments
Terimakasih sudah berkomentar!